Keluarga Sakhah, potret keluarga miskin di Desa Slatri Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes yang terpaksa mengonsumsi nasi aking dan tinggal di rumah tidak layak huni akibat keterbatasan ekonomi, Sabtu (28/3/2016).
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Fajar Eko Nugroho
TRIBUNJATENG.COM, BREBES - Sakhah (52), warga Desa Slatri, Kecamatan Larangan, Brebes, bersama keluarga hidup cukup memprihatinkan. Setiap hari, mereka makan nasi aking.
Nasi sisa yang dikeringkan kemudian ditanak lagi, itu telah lama dikonsumsi sebagian warga di masa paceklik. Nasi aking menjadi pilihan karena harganya murah meski tidak semurah harga tebus raskin.
Sakhah merupakan satu potret warga di Desa Slatri Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang terpaksa mengonsumsi nasi aking gara-gara ketidakmampuan mereka.
Sakhah tidak sendiri, masih banyak warga setempat yang sama mengonsumi nasi aking.
Harga beras yang mahal membuat sebagian warga di daerah itu kesulitan mendapatkan beras kualitas layak dengan harga terjangkau. Mereka terpaksa mengonsumsi nasi aking.
Sakhah ketika membersihkan nasi aking usai dikeringkan. (tribun jateng/fajar eko nugroho)
Dengan terpaksa, dia hanya mampu membeli nasi aking dan memberikannya kepada keluarganya dirumah untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan utama.
"Kalau makan nasi aking sudah cukup lama, ya karena nggak punya uang. Sekarang ini kan beras juga mahal, uangnya hanya cukup untuk beli nasi aking saja," ujar Sakhah dikediamanya, Sabtu (26/3/2016).
Sakhah yang tidak memiliki pekerjaan tetap (serabutan) itu, tinggal di sebuah rumah sederhana bersama anak perempuannya bernama Atika (15) dan ibundanya bernama Sudinah (70).
Bagi beberapa warga Desa Slatri, mengonsumsi nasi aking sudah menjadi rahasia umum. Mereka sebenarnya malu mengungkapkan secara terbuka. Namun, kemampuan ekonomi yang terbatas memaksa mereka memakan sumber pangan apa saja yang ada, termasuk nasi aking.
Nasi itu oleh warga biasanya diolah dengan dikukus atau diliwet. Untuk menambah cita rasa, nasi aking biasanya diberi parutan kelapa dan garam.
Saat harga beras mahal, warga menyiasati perut yang lapar dengan nasi aking. Mereka mendapatkan nasi aking dengan memanfaatkan sisa nasi keluarga atau membeli dari pedagang yang menjajakan keliling kampung. Satu kilogram harganya Rp 2.500, lebih mahal dari harga tebus raskin.
Ia mengaku tak mengalami kesakitan saat mengkonsumsi nasi aking. Namun, dia mengaku sangat sedih melihat anak dan ibundanya yang hanya bisa terbaring lemah juga mengkonsumsi nasi yang sebenarnya digunakan sebagai pakan ternak tersebut.
"Bukanya tidak mau membeli beras, tapi memang benar-benar tidak ada uang yang cukup untuk membelinya. Karena harga beras biasa harganya Rp 7.500 per kg. Tapi saya dan keluarga bersyukur yng penting masih bisa makan dengan nasi aking," ungkapnya.
Mengonsumsi nasi aking, kata dia, dapat menghemat pengeluaran karena harganya leih murah ketimbang beras biasa ataupu beras raskin sekalipun.
"Kalau makan nasi aking itu lebih mengenyangkan dari pada nasi biasa. Dan juga kenyangnya juga lebih lama,"ujar dia.(*)
sumber : jateng.tribunnews.com
0 Response to "MASYA ALLAH !!! Kasihan, Tak Mampu Beli Beras Keluarga di Brebes Ini Terpaksa Makan Nasi Aking"
Posting Komentar